Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada Juli 1945 bersidang. Dalam kesempatan itu, seorang nasionalis, M Yamin, menyuarakan saran agar nantinya pemerintah RI dapat membentuk apa yang disebutnya “Kementerian Islamiyah.” Namun, usulan itu kurang mendapatkan sambutan.
Dalam BPUPKI, perbedaan pandangan antara kubu sekuler dan islami tampak meruncing. Bung Karno bertindak sebagai penengah dalam Panitia Sembilan. Akhirnya, sembilan tokoh nasional, yakni dari kedua belah pihak, menyepakati rumusan Piagam Jakarta.
Republik Indonesia lahir pada 17 Agustus 1945. Sejak hari itu, para tokoh bangsa mulai menyelenggarakan tatanan kehidupan bernegara yang modern. Ir Sukarno dan Drs Mohammad Hatta terpilih menjadi presiden dan wakil presiden RI. Agar pemerintahan berjalan efektif, pelbagai kementerian pun didirikan untuk mempermudah kinerja eksekutif.
Pada bulan itu, pembentukan Kementerian Agama (Kemenag) tidak langsung terjadi. Ada proses yang cukup dinamis sebelum akhirnya kementerian tersebut diusulkan. Sebab, parlemen saat itu yakni Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) terbelah oleh perbedaan pendapat.
Ada golongan yang memandang, urusan agama semestinya terpisah dari negara. Alhasil, bagi mereka, di dalam susunan pemerintahan yang hendak dibentuk tidak usah mengadakan kementerian tersendiri yang mengurusi soal-soal agama. Sebaliknya, golongan nasionalis-religius menghendaki berdirinya lembaga tersebut.
KNIP menggelar sidang pleno pada 25-27 November 1945. Dalam forum yang dihadiri 224 anggota parlemen itu, usulan pembentukan Kemenag kembali diajukan. Salah seorang tokoh yang mengusulkannya ialah KH Abu Dardiri.
Legislator itu bersama dengan sejumlah koleganya dari Partai Masyumi mengutarakan pentingnya sebuah kementerian yang khusus dan tersendiri dalam menangani urusan agama. Jangan perkara agama, umpamanya, disambilkan kepada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
Saat itu, KH Abu Dardiri mendapat kepercayaan sebagai ketua muda Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Banyumas. Dalam KNI Banyumas, kiprah Abu Dardiri sangat menentukan dalam proses memperjuangkan usul pembentukan Kemenag.
Sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 25-27 November 1945 bisa dipandang sebagai titik mula lahirnya Kementerian Agama (Kemenag) RI. Menjelang forum itu digelar, KH Abu Dardiri dan sahabatnya, Haji Saleh, sempat menemui beberapa tokoh nasional anggota KNIP. Keduanya menyampaikan usulan KNI Banyumas, yakni pembentukan Kemenag.
Beberapa tokoh anggota KNIP ternyata merespons secara positif. Bahkan, tak sedikit yang memberikan dukungan. Tokoh-tokoh anggota KNIP yang mendukung pembentukan Kemenag adalah Mohammad Natsir, Dr Muwardi, Dr Marzuki Mahdi, dan M Kartosudarmo.
Dengan bertemu para tokoh tersebut, proses komunikasi politik pun berjalan lancar. Usulan pembentukan Kemenag yang semula adalah aspirasi KNI Banyumas, menjadi semakin mudah diterima.
Dalam mengakomodasi persoalan-persoalan umat Islam, pemerintah saat itu hanya menampungnya dalam Kementerian Pengajaran atau Pendidikan. Namun, melalui strategi dan pembacaan terhadap situasi yang matang, Kiai Dardiri dan kawan-kawan merekomendasikan agar urusan agama jangan disatukan dengan kementerian tersebut.
Dalam sidang BPKNIP pada 25 November, rekomendasi dari KNI Banyumas akhirnya berhasil menjadi keputusan bersama. Selanjutnya, keputusan diambil pemerintah yang dipimpin Dwitunggal, Sukarno-Hatta. Pada 3 Januari 1946, Presiden Sukarno akhirnya mengeluarkan surat keputusan untuk membentuk Kemenag RI.
Pembentukan Kemenag dalam Kabinet Sjahrir II ditetapkan dengan Ketetapan Pemerintah Nomor: 1/SD/1946 tanggal 3 Januari 1946 (29 Muharram 1365 H) yang berbunyi; Presiden Republik Indonesia, Mengingat: usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Kementerian Agama.
Pengumuman berdirinya Kemenag disiarkan oleh pemerintah melalui siaran Radio Republik Indonesia. Haji Mohammad Rasjidi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Agama RI Pertama. H.M. Rasjidi adalah seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam modern dan di kemudian hari dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka dan tokoh Muhammadiyah.
Rasjidi saat itu adalah menteri tanpa portfolio dalam Kabinet Sjahrir. Dalam jabatan selaku menteri negara (menggantikan K.H. A. Wahid Hasjim), Rasjidi sudah bertugas mengurus permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam.
Kemenag mengambil alih tugas-tugas keagamaan yang semula berada pada beberapa kementerian, yaitu Kementerian Dalam Negeri yang berkenaan dengan masalah perkawinan, peradilan agama, kemasjidan dan urusan haji; Kementerian Kehakiman yang berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Islam Tinggi; dan Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan yang berkenaan dengan masalah pengajaran agama di sekolah-sekolah.
Sehari setelah pembentukan Kemenag, Menteri Agama H.M. Rasjidi dalam pidato yang disiarkan oleh RRI Yogyakarta menegaskan bahwa berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama serta pemeluk-pemeluknya.
Tahun-tahun berikutnya merupakan masa konsolidasi dan pengembangan kementerian. Peralihan kekuasaan kepada Pemerintah RI menjadi momentum penting untuk memperkuat posisi kementerian. Pada tanggal 23 April 1946, Menteri Agama mengeluarkan Maklumat yang isinya :
Pertama, Shumuka yang dalam zaman Jepang termasuk dalam kekuasaan Residen menjadi Jawatan Agama Daerah, yang selanjutnya ditempatkan di bawah Kementerian Agama.
Kedua, hak untuk mengangkat penghulu Landraad (sekarang bernama Pengadilan Negeri), ketua dan anggota Raad Agama yang dahulu ada di tangan pemerintah kolonial Hindia Belanda, selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Agama.
Ketiga, hak untuk mengangkat penghulu masjid, yang dahulu ada tangan Bupati, selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Agama.
Setelah berdirinya Kementerian Agama, urusan keagamaan dan peradilan agama bagi umat Islam yang telah berjalan sejak prakemerdekaan menjadi tanggung jawab Kementerian Agama. Semula hal itu berlaku di Jawa dan Madura, tetapi setelah terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didorong oleh mosi integral Mohammad Natsir (periode berlakunya UUDS 1950) dan penyerahan urusan keagamaan dari bekas negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS) kepada Menteri Agama, maka secara de jure dan de facto, tugas dan wewenang dalam urusan agama bagi seluruh wilayah RI menjadi tanggung jawab Menteri Agama.
Sejak lahirnya Kemenag, ada beberapa kegiatan keagamaan yang ditangani dengan berbagai istilah/nama/satuan kerja,antara lain:
- Jawatan Penerangan Agama
- Jawatan Urusan Agama
- Jawatan Pendidikan Agama
- Peradilan/Pengadilan Agama
Sebelum muncul nama Kantor Perwakilan Departemen Agama (sebelum tahun 1972) masing-masing satuan unit kerja berkantor/berlokasi tidak dalam satu atap seperti sekarang, misalnya :
- Kantor Urusan Agama/KUA DU/Haji
Bertempat : Di sebelah Utara Masjid Agung Pemalang, lokasi tersebut.
- Kantor Penerangan Agama
Bertempat : Di Jl. Urip Sumoharjo No. 109 Pemalang.
- Peradilan /Peradilan Agama
Bertempat : Di sebelah Utara Masjid Agung Pemalang depan Bis Moga.
- Kantor Dapartemen Agama
Bertempat : Di sebelah Selatan Masjid Agung Pemalang, lokasi tersebut sekarang dijadikan Menara Masjid Agung Pemalang
Pada tahun 1972 terbit KMA Nomor 36 tahun 1972 yang isinya : Secara berseluruhan pemerintah Indonesia menghendaki bahwa Kantor Departemen Agama harus dijadikan satu, sehingga pada tahun 1972 tersebut Kantor Agama Kabupaten Pemalang berubah nama menjadi Kantor Perwakilan Departemen Agama (Kantor Pendepag Kabupaten Pemalang) yang bertempat di sebelah Selatan Masjid Agung Pemalang.
Dengan terbitnya KMA Nomor 18 tahun 1975 nama Kantor Perwakilan Departemen Agama Kabupaten Pemalang berubah menjadi Kantor Departemen Agama Kabupaten Pemalang.
Dan dengan terbitnya Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2010, tepatnya tanggal 28 Januari 2010 nama Kantor Departemen Agama Kabupaten Pemalang diubah menjadi Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pemalang.
Adapun nama Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Pemalang dari masa ke masa adalah sebagai berikut:
- K.H Arghubi
- Mahzun
- H. Faqihudin (Tahun 1967-1975)
- Drs. Muanas Abdul Jalil (Tahun 1976-1980)
- Prisan Hadi (Tahun 1980-1989)
- H. A. Thosir (Tahun 1989-1995)
- Drs. H. Hadjam Zakaria (Tahun 1995-2000)
- Drs. H. Wahyadi A. Ghani, M.M. (Tahun 2000-2003)
- H. Muala Hata, S.H. (Tahun 2003-2007)
- Drs. H. Masduki, M.Si. (Tahun 2007-2010)
- Drs. H. Muslim Umar, M.Ag. (Tahun 2010-2014)
- H. Taufik Rahman, S.H., M.Hum. (Tahun 2014-2019)
- Drs. H. Kudaifah, M.Pd.I. (Tahun 2019)
- H. Fahrur Rozi, S.Ag., M.S.I. (Tahun 2020-2022)
- H. Roziqun, S.Ag., M.Pd.I. (Tahun 2022-Sekarang)